Beda Aliran
Saat jeda istirahat siang suatu pelatihan yang ditujukan untuk para dosen
honorer salah satu universitas swasta terkemuka di Indonesia. Seorang dosen
peserta yang menghampiri saya yang saat itu berencana untuk laporan pada Yang
Maha Kuasa. Bernada setengah mengejek ia bertanya kepada saya, “mobilnya yang
mana Mas?” Sembari melepas kaus kaki, saya menjawab, “Oh saya ndak bawa mobil,
saya ke sini menggunakan sepeda motor. Itu dia sepeda motor saya,” jari saya
menunjuk Jupi, sahabat setia saya.
Dosen tersebut hanya menyinggungkan senyum yang berporos ke sudut bibir
kanannya. “Kalo saran saya, lain kali pas ngisi training bawa mobil mas, biar
keren dan dihormati orang,” nasihat laki-laki tersebut. “Dulu saya pernah
hampir dapat tender besar proyek pendidikan untuk sekolah terkemuka di Jakarta.
Saya bela-belain pinjam mobil teman untuk datang ke sekolah tersebut, melihat
bawaan saya, Kepala sekolah tersebut setuju untuk bekerja sama. Tinggal menunggu
empat hari lagi untuk penandatangan kontrak kerja samanya,” cerita laki-laki
tersebut.
Saya kemudian bertanya bagaimana kelanjutan kisahnya. Laki-laki tersebut
melanjutkan, “itu dia Mas, celakanya ketika hari penandatangan, teman saya lagi
pergi keluar kota, mobilnya tentu dia bawa. Kelabakan saya cari rental mobil
tapi ternyata gak ada yang sama persis mobil teman saya,” laki-laki tersebut
kembali bercerita dan seakan mengacuhkan ekspresi wajah saya yang sudah kebelet
buang air kencing.
“Yah, akhirnya saya kesana bawa motor. Sampai disana saya sempat melihat
kepala sekolah tersebut. Saya disuruh menunggu lima belas menit. Kemudian seorang
staf sekolah keluar dan menyampaikan mohon maaf kepala sekolah sedang sibuk dan
tidak bisa menemui,” mulutnya mulai berbusa-busa bercerita.
“Lalu si staf tadi menyampaikan alasan yang gak masuk akal. Padahal dulu
bilang sudah tidak ada masalah dengan kontrak kerja samanya. Eh, pas saya
datang waktu itu bilangnya kepala sekolah masih sibuk dan belum sempat merivisi
draft kerja sama yang menurutnya masih bermasalah. Saya yakin itu semua karena
saya datang bawa motor,” Laki-laki tersebut pun menunjuk motor new shogun SP
warna hitam miliknya.
“Orang Indonesia itu masih melihat apa bawaan kita. Makanya kalo mau
sukses jadi trainer dan dapat bayaran mahal bawaannya mas harus serba mahal. Ingat
mas jujur menjalani profesi, malah bisa hancur dan bikin depresi,” laki-laki
tersebut memberikan kesimpulan.
Saya pun akhirnya mendapatkan kesempatan berbicara. Sembari ngempit si
Agung yang segera ingin nabung, saya bertanya sederhana, “Pak Dosen, yang
berbicara di depan, mobil atau manusia? Lalu mana yang lebih istimewa dan
berharga mahal, mobil atau manusia? Mana yang merupakan masterpiece kehidupan
sesungguhnya mobil atau manusia?
“Nah mungkin itu yang menjadi permasalahan, sering kali beberapa orang
dan mungkin Pak Dosen menjalani kesepakatan atau bahkan kehidupan dengan
sesuatu yang palsu dan memaksakan. Saya ndak malu mengakui bahwa ke mana-mana
mengendarai motor, karena kemampuan saya baru bisa beli motor. Daripada saya
omong besar sesumbar dengan memamerkan apa yang bukan kemampuan dan bawaan
saya. Lebih baik apa adanya, karena sejatinya kita adalah masterpiece
kehidupan. Lebih berharga dan lebih mahal, satu-satunya dan istimewa daripada
mobil atau apapun yang kita bawa,” Saya pun menuju Jupi, mencium motor saya
yang berada hanya lima langkah di depan.
Mendapat rezeki dan dibayar mahal dari profesi yang kita jalani adalah
bonus. Kenikmatan menyalurkan hobi melalui profesi itulah bawaan yang ndak akan
pernah hangus. Maaf ya Pak Dosen kita beda aliran…. *Huwehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar