Hidup Sekali,
Berarti, Lalu Mati
“Aku lebih memilih
mati secara berarti daripada hidup tanpa arti”
-Corazon Aquino-
Ada sekolompok
manusia yang memadatkan usianya dengan beragam karya. Namun ada pula yang sudah
merasa cukup hidup dengan aktivitas yang apa adanya. Tak penting mereka siapa.
Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada yang
mengisi hari dengan beragam kontribusi. Namun ada pula sekelompok manusia yang
hidupnya hanya memperjuangkan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Tak penting
mereka siapa. Yang lebih penting, kita yang mana?
Ada yang
memilih mengabdikan hidup jadi pahlawan, namun ada pula yang hanya puas jadi
petepuk tangan. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk
yang mana?
Ada yang
memilih hidup dengan aktif jadi pemain, namun ada pula yang sudah cukup puas di
tepi lapangan kehidupan untuk jadi penonton. Tak penting mereka siapa. Yang lebih
penting, kita termasuk yang mana?
Ada yang gagah
memilih hidup dengan berdiri tegak menentang ombak. Namun ada pula manusia yang
lebih suka memilih hidup ngalir laksana air, slow kayak pulau, santai
kayak pantai. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang
mana?
Ada yang hidup
dengan menghemat umur dengan berbagai aktivitas produktif. Namun ada pula yang
hidupnya terkungkung dengan bayangan sikap permisif. Tak penting mereka siapa. Yang
lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada yang
ketika lahirnya, semua orang di sekitarnya tersenyum manis, dan ketika tiada
semua orang sesenggukan tak bisa menahan tangis. Namun ada pula orang yang
ketika ia lahir semua di sekitarnya tersenyum manis, dan ketika ia tiada,
senyum orang di sekitarnya ternyata semakin manis. Tak penting mereka siapa. Yang
lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada orang yang
tak rela waktunya tersita oleh beragam aktivitas biasa. Tapi ada pula manusia
yang usianya tersita oleh aktivitas yang penuh dosa. Tak penting mereka siapa. Yang
lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ratusan abad
yang silam, dunia dikejutkan dengan kehadiran seorang pria yatim yang mampu menoreh
prestasi tak terkira. Baru meninggalkan usia balita, ia sudah piatu. Lengkap sudah
hidup tanpa ibu ayah di usia yang masih sangat belia. Tapi ia bukan anak manja.
Di usia dua belasan tahun ia memegang unit usaha international Abu Thalib
sampai ke Syam dan berhasil menjadi penjual yang sukses berkat kejujuran yang
dipegangnya. Usia dua puluhan dia dipercaya memegang bisnis besar yang
diinvestasikan Khadijah.
Tak lama
kemudian, beliau membuktikan diri sebagai panglima dan administrator militer tak
ada duanya. Sepuluh tahun di Madinah, tiga ratusan detasemen beliau pimpin
dengan sukses luar biasa. Dua imperium besar saat itu, Persia dan Romawi,
terpaksa mengakui keagungannya. Dan dunia mengenalnya dengan baik nama agung
itu, Muhammad.
Di belahan
bumi yang lain, ada seorang pria sederhana. Ia menyaksikan kesewenang-wenangan
yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Ia melihat ketidakadilan yang
dilakukan terhadap rakyat tertindas sudah kelewat batas. Kezaliman dan
penyiksaan sudah tak berperikemanusiaan.
Dalam catatan
hariannya, pria itu menulis, “Saat itu tak ada orang Eropa yang bersedia
membantu membalut luka mereka. Kami harus membersihkan luka-luka orang Zulu
yang sudah tak dirawat setidaknya setelah lima atau enam hari yang lalu, karena
itu luka-lukanya membusuk dan sangat menakutkan”.
Pria itu
meradang dan dengan keras melakukan penentangan. Ia terus-menerus melakukan
perlawanan. Bukan dengan kekerasan. Baginya, kekerasan tak bisa diselesaikan
dengan kekerasan. Baginya, bila mata dibalas dengan mata, semua manusia akan
gelap mata.
Pria itu pun
mencetuskan gerakan tanpa kekerasan. Kesadaran itu ia wujudkan dengan
menelurkan prinsip perjuangan , bramkhacharya (mengendalikan hasrat
seksual), satyagraha (kekuatan kebenaran dan cinta), swadeshi
(memenuhi kebutuhan sendiri) dan ahimsa (tanpa kekerasan terhadap semua
makhluk). Dunia pun mengenal dengan baik nama pria luar biasa itu. Mahatma Gandhi.
Di belahan
bumi yang lain, pada awal era reformasi, seorang pria kampung dengan lantang
bersumpah di hadapan sang penguasa orde, bahwa sampai akhir hayatnya ia tak
akan pernah mengejar jabatan apa pun dalam pemerintahan. Jangankan mengejar,
bahkan dikejar pun ia akan menolaknya. Dan hingga kini sumpah itu pun
dipatuhinya, meskipun ada banyak peluang baginya menuju berbagai jabatan
prestisius dalam pemerintahan.
Jujur, sejak
lama saya sangat terinspirasi oleh gaya hidupnya. Penampilannya sangat
sederhana. Ia sangat dicintai oleh masyarakat. Karena ia mengabdikan dirinya
sebagai pelayan masyarakat. Tiap saat waktunya diatur oleh rakyat. Ia berkeliling
ke berbagai wilayah di Nusantara dan memberi pencerahan di berbagai acara-acara
massal. Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Padhang Bulan
di Jombang, Bang-Bang Wetan di Surabaya, itulah beberapa acara rutinan yang
digelarnya. Acara yang dipadati oleh beragam agama, beragam etnis, beragam
profesi.
Di acara itu,
semua orang belajar bersama, tertawa bersama, merenung bersama, tercerahkan
bersama. Di acara itu, pejabat atau rakyat seolah tak terlihat. Kaya atau
miskin jadi tak penting. Bertakhta atau jelata tak kasatmata. Semua berbaur dan
bersaudara.
Pria itu
membuka wawasan politik kepada rakyat cilik dengan bahasa sederhana dan apik. Ia
cerahkan filosofi dan prinsip keberagaman dengan metode dakwah yang ringan dan
khas. Ia hibur rakyat tertindas dengan sentuhan nurani yang ikhlas. Ia menulis
puluhan buku, cerpen, puisi, tapi bukan untuk meniti karier sebagai penulis. Ia
menjadikan aktivitas menulisnya sebagai media untuk mendukung aktivitas
sosialnya. Ya, hampir semua orang di penjuru negeri telah mengenalnya. Pria itu
adalah Emha Ainun Nadjib.
Begitulah.
Hidup memang bermula dengan ‘B’ (Birth) dan berakhir dengan ‘D’ (Death).
Dan yang harus senantiasa teringat, bahwa antara ‘B’ dan ‘D’ ada ‘C’ (Choice).
Hidup adalah pilihan. Mau jadi pahlawan atau pencundang. Numpang lewat atau
menebar manfaat. Pengin jadi winner atau looser. Mau jadi juara
atau biasa-biasa saja.
Hidup hanya
sekali. Maka pilihlah hidup yang penuh arti. Yang penuh prestasi dan
kontribusi. Yang jasadnya mati tapi namanya tetap abadi. Yang hidupnya mulia,
matinya dikenang sejarah. Yang di dunia bahagia, di akhirat meraih surga. Yang di
dunia dicintai manusia, di akhirat hidup bersama ridha Tuhannya.
Hidup sekali,
berarti, lalu mati.
(Sumber: Buku “Hidup Sekali,
Berarti, Lalu Mati” karya Ahmad Rifa’i Rif’an)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar