Lahir Kita Anugerah
“Bukankah
kezaliman yang tak terkira jika kita menjadikan mahakarya yang istimewa ini
hanya numpang lewat dalam sejarah. Lahir, hidup, lalu mati, tanpa meninggalkan
warisan berharga bagi generasi selanjutnya.”
-Ahmad Rifa’I Rif’an-
Hanya ada satu
kemungkinan di antara tiga ratus ribu miliar kemungkinan yang ada, bahwa
manusia yang akhirnya hadir itu adalah Anda. Dengan kata lain, tiga ratus ribu
miliar ‘saudara kandung’ Anda tak lolos seleksi. Yang lolos hanya satu, yaitu
Anda. Begitulah sebuah fakta ilmiah yang diungkap oleh Dale Carnegie dari
sebuah buku klasik, You and Heridty.
Lahir sebagai
manusia yang unik. Tak ada satu pun manusia lain di seluruh dunia yang
menyamai. Anda hanya satu-satunya yang ada di bumi. Sebuah mahakarya spesial.
Masterpiece yang tiada duanya. Tak ada satu pun yang mahirnya, pengalaman
hidupnya, serta matinya, sama persis dengan Anda.
Tercipta
sebagai makhluk yang harganya tak terhingga. Sangat istimewa. Bolehkah kedua
mata Anda dibeli satu miliar? Boleh kedua pendengaran Anda ditukar dengan mobil
termahal di dunia? Bolehkah kepala Anda dibarter dengan rumah mewah? Ya, harga
Anda bukan miliaran, bukan triliunan. Jauh lebih mahal dari mobil termahal.
Jauh lebih istimewa dari rumah yang mewah. Harga Anda tak ternilai.
Makhluk
spesial tentu juga dihargai dengan tugas yang spesial. Makhluk terhormat harus
diberi tugas kehormatan. Makhluk berharga harus diberi tanggung jawab berharga.
Jika makhluk terhormat diberi tugas dan wewenang yang remeh, tentu hal itu
menjadi pelecehan terhadapnya. Makhluk isitimewa tapi diberi tugas yang
biasa-biasa saja, tentu itu bentuk penghinaan. Orang besar harus diberi tugas
besar.
Begitu pun
manusia sebagai makhluk yang harganya tak ternilai, tugas yang diberikan oleh
Tuhan juga tak ternilai. Apa tugasnya? Yakni menjadi khilafah. Menjadi wakil
Tuhan di muka bumi.
Sebuah tugas
dan tanggung jawab yang sangat terhormat. Sebuah tugas yang memang sangat
berat. Tapi inilah konsekuensi menjadi makhluk mulia. Tanda kemuliaan bukan
hanya terjabar dalam bentuk raga yang sempurna. Simbol kehormataan bukan hanya
terlihat dari penciptaan akal yang memang istimewa, tapi juga terlihat dari
tanggung jawab yang disertakan oleh Tuhan terhadapnya.
Berani menjadi
manusia, harus berani memegang tanggung jawab yang disertakan Tuhan atasnya.
Berani jadi manusia harus berani mengemban tugas kehormatan yang diamanatkan
oleh Sang Pencipta kepadanya.
Tapi lihatlah
perilaku begitu banyak manusia. Mereka melecehkan dirinya dengan tertunduk
kepada makhluk yang diciptakan lebih rendah darinya. Mereka menjual martabat
demi meraih pangkat. Mereka menukar harga dirinya demi meraih limpahan harta.
Mereka mengorbankan kemuliaannya dengan mengisi hidupnya dengan beragam
aktivitas yang tak pantas dilakukan oleh sesosok makhluk yang mulia.
Saya begitu
terinspirasi dengan pernyataan dari Emha Ainun Nadjib yang mengatakan bahwa
sebenarnya diri kita lebih mahal ketimbang uang, maka jangan kejar uang.
Jadikan uang yang mengejar kita. “Saya tidak pernah mencari uang,” kata Cak
Nun, “Saya menulis, mungkin saya bikin puisi, mungkin kadang-kadang saya
bermain musik, mungkin kadang-kadang saya melakukan apa pun yang diminta
masyarakat. Tapi saya tidak akan pernah melakukan apa pun di dunia ini untuk
mencari uang. Artinya, uang harus hanya menjadi efek moral dari sebuah
pekerjaan.”
Jangan pernah
meremehkan hasil karya Tuhan dengan pilihan-pilihan hidup kita yang kerdil.
Jangan pernah melecehkan mahakarya Tuhan dengan aktivitis-aktivitis kita yang
kecil.
Sebuah
kedurhakaan yang tak tanggung-tanggung jika kita hanya mengisi hidup dengan
beragam kegiatan yang tak layak dikerjakan oleh sang mahakarya. Tentu sebuah
kezaliman yang tak terkira jika kita menjadikan karya yang begitu istimewa ini
hanya numpang lewat dalam sejarah. Lahir, hidup, mati tanpa meninggalkan
warisan berharga. Tanpa menyumbangkan prestasi dan kontribusi yang memberi
kemanfaatan bagi sekitarnya.
Mari
beristighfar dan menyesali segala salah yang selama ini tak kunjung berhenti
kita lakukan, “Tuhan, maaf, Kau alirkan nikmat, kami balas dengan maksiat.
Sehatnya mata malah dipakai nista. Sehat telinga dipakai dengar yang sia-sia.
Bugarnya raga dipakai buat hina. Lisan yang bisa bicara dipakai ngomong tak
bermakna. Kaki yang kuat dipakai jalan ke tempat yang sesat. Dikasih amanat malah
khianat. Dikasih rezeki sombongnya tak henti-henti. Diberi kehormatan tapi
angkuhnya bukan main. Tolong, ampuni kami. Jangan sampai kekufuran kami
menjadikan-Mu murka dan mencabut segala nikmat dari kami. Jangan sampai kami
baru sadar setelah seluruh anugerah terenggut dari diri kami. Mohon maaf,
Tuhan. Hanya semenit kucoba tutup mata, tutup telinga, lemaskan kaki, bisukan
lisan. Betapa tak enaknya. Tak terbayangkan jika nikmat mata, telinga, lisan,
raga, Engkau renggut”.
Hidup terlalu
singkat dipakai nyantai. Petuah ‘Santai kayak pantai. Slow kayak pulau’
bukan kalimat para juara. Hidup adalah kompetisi. Ada yang sukses, ada yang
gagal. Ada yang naik, ada yang turun. Ada yang mulia, ada yang hina. Kitab suci
pun mewasiatkan fastabiqul khairat. Berlombalah dalam kebaikan. Saat kita
jalan, di lain tempat orang lain sedang berlari cepat menuju impiannya
masing-masing. Segera bangunah dari tidur panjang. Mumpung jantung masih
berdetak, isilah dengan aktivitas produktif. Hidup sekali, berarti, lalu mati.
(Sumber: Buku “Hidup Sekali,
Berarti, Lalu Mati” karya Ahmad Rifa’i Rif’an)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar