Ketika Tuhan
Berkehendak
Suatu hari
seorang pria hendak mengantar putra tunggal nya ke sekolah. Sebelum berangkat,
pria itu mengajak istri dan putranya berdoa seperti biasanya.
“Tuhan,
hidupku, hidup istriku, dan hidup anakku hari ini kuserahkan kepada-Mu. Apa pun
yang terjadi pada hari ini terserah kehendak-Mu saja. Amin”.
Saat dalam
perjalanan menuju ke sekolah si anak, mereka mengalami kecelakaan yang
merenggut kedua mata sang anak. Ibu dari anak itu begitu histeris dan ayahnya
amat terpukul, tetapi si anak tenang-tenang saja.
Karena kedua
matanya buta, anak tersebut tidak dapat melanjutkan sekolah. Ia hanya bisa
tinggal di rumah dan bermain piano tua peninggalan kakek buyutnya. Selama bertahun-tahun
ia hanya bermain piano hingga ia menjadi seorang pianis buta yang terkenal,
namun selama bertahun-tahun itu pula kedua orang tuanya menyalahkan Tuhan atas
kebutaannya.
Dengan penghasilannya
sebagai seorang pianis, anak itu bisa menghidupi keluarganya dan mengangkat
keadaan keluarganya yang dulunya serba pas-pasan. Ia bisa menikah dan memiliki
anak-anak yang sehat.
Pada suatu
hari, sebuah stasiun televisi swasta mewawancarainya dan keluarga. Ketika kedua
orang tuanya ditanyai, mereka mulai melontarkan ketidakpuasan mereka pada
Tuhan. Mereka menyalahkan Tuhan yang mengambil mata anaknya padahal anak itu
begitu cerdas dan mejadi kebanggaan mereka. Bagaimana mereka begitu berhemat
agar si anak bisa terus sekolah walau sering kali mereka hanya bisa makan
sekali sehari agar bisa membeli buku pelajaran. Mereka telah menggantungkan
banyak cita-cita pada anaknya, namun Tuhan dengan ‘tidak adilnya’ merenggut
penglihatan anak semata wayang mereka.
Mendengar itu,
si anak lalu tertawa kecil dan mulai bicara.
“Tuhan itu sayang
sama saya, tidak pernah sekali pun Ia berlaku tidak adil. Malam hari setelah
kecelakaan itu, saya bermimpi bertemu Tuhan dan saya melakukan hal yang sama
seperti ayah dan ibu. Saya mengeluh dan bertanya mengapa harus saya yang
mengalami musibah ini. Mengapa Ia harus mengambil mata saya, tidak cukuplah
kami hidup menderita dan kekurangan hingga penglihatanku juga harus diambil? Lalu
Tuhan menjawab saya, ‘Bukankah kamu dan kedua orang tuamu sendirilah yang
berserah sesuai kehendak Ku? Sekarang saat Aku berkehendak, mengapa engkau
mengeluh? Tuhan berdiam diri sejenak dan memandangku, ‘Tunggu dan rasakanlah,
rencana-Ku itu indah bagimu,’ kata-Nya lagi.
“Akhirnya aku
memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada Tuhan. Hidup kami dulu teramat
susah, untuk makan saja sering kami kelaparan karena memaksakan diri untuk
membayar biaya sekolahku. Ketika aku buta dan terpaksa berhenti sekolah, kami
baru sedikit bisa bernapas. Piano tua warisan kakek yang tidak laku-laku itu
menjadi satu-satunya hiburanku, bahkan membawa hidupku hingga seperti saat ini.
Coba bayangkan anda Tuhan tidak mengambil mataku, paling-paling aku menjadi
peawai rendahan seperti ayah dahulu”.
Si anak
menghela napasnya lalu berkata dengan penuh keyakinan, “Apa pun yang terjadi
saat ini adalah kehendak Tuhan yang indah. Oleh karena itu, hingga saat ini pun
aku tetap berserah pada kehendak-Nya. Dan ketika Ia berkehendak, aku tidak akan
mengeluh”.
(Sumber: Buku “Bukan Untuk Dibaca
The Most Inspiring Story” karya Deassy M. Destiani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar