Kamis, 19 Maret 2015

Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati



Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati
“Aku lebih memilih mati secara berarti daripada hidup tanpa arti”
-Corazon Aquino-
Ada sekolompok manusia yang memadatkan usianya dengan beragam karya. Namun ada pula yang sudah merasa cukup hidup dengan aktivitas yang apa adanya. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada yang mengisi hari dengan beragam kontribusi. Namun ada pula sekelompok manusia yang hidupnya hanya memperjuangkan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita yang mana?
Ada yang memilih mengabdikan hidup jadi pahlawan, namun ada pula yang hanya puas jadi petepuk tangan. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada yang memilih hidup dengan aktif jadi pemain, namun ada pula yang sudah cukup puas di tepi lapangan kehidupan untuk jadi penonton. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada yang gagah memilih hidup dengan berdiri tegak menentang ombak. Namun ada pula manusia yang lebih suka memilih hidup ngalir laksana air, slow kayak pulau, santai kayak pantai. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada yang hidup dengan menghemat umur dengan berbagai aktivitas produktif. Namun ada pula yang hidupnya terkungkung dengan bayangan sikap permisif. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada yang ketika lahirnya, semua orang di sekitarnya tersenyum manis, dan ketika tiada semua orang sesenggukan tak bisa menahan tangis. Namun ada pula orang yang ketika ia lahir semua di sekitarnya tersenyum manis, dan ketika ia tiada, senyum orang di sekitarnya ternyata semakin manis. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ada orang yang tak rela waktunya tersita oleh beragam aktivitas biasa. Tapi ada pula manusia yang usianya tersita oleh aktivitas yang penuh dosa. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?
Ratusan abad yang silam, dunia dikejutkan dengan kehadiran seorang pria yatim yang mampu menoreh prestasi tak terkira. Baru meninggalkan usia balita, ia sudah piatu. Lengkap sudah hidup tanpa ibu ayah di usia yang masih sangat belia. Tapi ia bukan anak manja. Di usia dua belasan tahun ia memegang unit usaha international Abu Thalib sampai ke Syam dan berhasil menjadi penjual yang sukses berkat kejujuran yang dipegangnya. Usia dua puluhan dia dipercaya memegang bisnis besar yang diinvestasikan Khadijah.
Tak lama kemudian, beliau membuktikan diri sebagai panglima dan administrator militer tak ada duanya. Sepuluh tahun di Madinah, tiga ratusan detasemen beliau pimpin dengan sukses luar biasa. Dua imperium besar saat itu, Persia dan Romawi, terpaksa mengakui keagungannya. Dan dunia mengenalnya dengan baik nama agung itu, Muhammad.
Di belahan bumi yang lain, ada seorang pria sederhana. Ia menyaksikan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Ia melihat ketidakadilan yang dilakukan terhadap rakyat tertindas sudah kelewat batas. Kezaliman dan penyiksaan sudah tak berperikemanusiaan.
Dalam catatan hariannya, pria itu menulis, “Saat itu tak ada orang Eropa yang bersedia membantu membalut luka mereka. Kami harus membersihkan luka-luka orang Zulu yang sudah tak dirawat setidaknya setelah lima atau enam hari yang lalu, karena itu luka-lukanya membusuk dan sangat menakutkan”.
Pria itu meradang dan dengan keras melakukan penentangan. Ia terus-menerus melakukan perlawanan. Bukan dengan kekerasan. Baginya, kekerasan tak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Baginya, bila mata dibalas dengan mata, semua manusia akan gelap mata.
Pria itu pun mencetuskan gerakan tanpa kekerasan. Kesadaran itu ia wujudkan dengan menelurkan prinsip perjuangan , bramkhacharya (mengendalikan hasrat seksual), satyagraha (kekuatan kebenaran dan cinta), swadeshi (memenuhi kebutuhan sendiri) dan ahimsa (tanpa kekerasan terhadap semua makhluk). Dunia pun mengenal dengan baik nama pria luar biasa itu. Mahatma Gandhi.
Di belahan bumi yang lain, pada awal era reformasi, seorang pria kampung dengan lantang bersumpah di hadapan sang penguasa orde, bahwa sampai akhir hayatnya ia tak akan pernah mengejar jabatan apa pun dalam pemerintahan. Jangankan mengejar, bahkan dikejar pun ia akan menolaknya. Dan hingga kini sumpah itu pun dipatuhinya, meskipun ada banyak peluang baginya menuju berbagai jabatan prestisius dalam pemerintahan.
Jujur, sejak lama saya sangat terinspirasi oleh gaya hidupnya. Penampilannya sangat sederhana. Ia sangat dicintai oleh masyarakat. Karena ia mengabdikan dirinya sebagai pelayan masyarakat. Tiap saat waktunya diatur oleh rakyat. Ia berkeliling ke berbagai wilayah di Nusantara dan memberi pencerahan di berbagai acara-acara massal. Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Padhang Bulan di Jombang, Bang-Bang Wetan di Surabaya, itulah beberapa acara rutinan yang digelarnya. Acara yang dipadati oleh beragam agama, beragam etnis, beragam profesi.
Di acara itu, semua orang belajar bersama, tertawa bersama, merenung bersama, tercerahkan bersama. Di acara itu, pejabat atau rakyat seolah tak terlihat. Kaya atau miskin jadi tak penting. Bertakhta atau jelata tak kasatmata. Semua berbaur dan bersaudara.
Pria itu membuka wawasan politik kepada rakyat cilik dengan bahasa sederhana dan apik. Ia cerahkan filosofi dan prinsip keberagaman dengan metode dakwah yang ringan dan khas. Ia hibur rakyat tertindas dengan sentuhan nurani yang ikhlas. Ia menulis puluhan buku, cerpen, puisi, tapi bukan untuk meniti karier sebagai penulis. Ia menjadikan aktivitas menulisnya sebagai media untuk mendukung aktivitas sosialnya. Ya, hampir semua orang di penjuru negeri telah mengenalnya. Pria itu adalah Emha Ainun Nadjib.
Begitulah. Hidup memang bermula dengan ‘B’ (Birth) dan berakhir dengan ‘D’ (Death). Dan yang harus senantiasa teringat, bahwa antara ‘B’ dan ‘D’ ada ‘C’ (Choice). Hidup adalah pilihan. Mau jadi pahlawan atau pencundang. Numpang lewat atau menebar manfaat. Pengin jadi winner atau looser. Mau jadi juara atau biasa-biasa saja.
Hidup hanya sekali. Maka pilihlah hidup yang penuh arti. Yang penuh prestasi dan kontribusi. Yang jasadnya mati tapi namanya tetap abadi. Yang hidupnya mulia, matinya dikenang sejarah. Yang di dunia bahagia, di akhirat meraih surga. Yang di dunia dicintai manusia, di akhirat hidup bersama ridha Tuhannya.
Hidup sekali, berarti, lalu mati.

(Sumber: Buku “Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati” karya Ahmad Rifa’i Rif’an)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar