Senin, 09 Februari 2015

Beda Aliran


Beda Aliran
Saat jeda istirahat siang suatu pelatihan yang ditujukan untuk para dosen honorer salah satu universitas swasta terkemuka di Indonesia. Seorang dosen peserta yang menghampiri saya yang saat itu berencana untuk laporan pada Yang Maha Kuasa. Bernada setengah mengejek ia bertanya kepada saya, “mobilnya yang mana Mas?” Sembari melepas kaus kaki, saya menjawab, “Oh saya ndak bawa mobil, saya ke sini menggunakan sepeda motor. Itu dia sepeda motor saya,” jari saya menunjuk Jupi, sahabat setia saya.
Dosen tersebut hanya menyinggungkan senyum yang berporos ke sudut bibir kanannya. “Kalo saran saya, lain kali pas ngisi training bawa mobil mas, biar keren dan dihormati orang,” nasihat laki-laki tersebut. “Dulu saya pernah hampir dapat tender besar proyek pendidikan untuk sekolah terkemuka di Jakarta. Saya bela-belain pinjam mobil teman untuk datang ke sekolah tersebut, melihat bawaan saya, Kepala sekolah tersebut setuju untuk bekerja sama. Tinggal menunggu empat hari lagi untuk penandatangan kontrak kerja samanya,” cerita laki-laki tersebut.
Saya kemudian bertanya bagaimana kelanjutan kisahnya. Laki-laki tersebut melanjutkan, “itu dia Mas, celakanya ketika hari penandatangan, teman saya lagi pergi keluar kota, mobilnya tentu dia bawa. Kelabakan saya cari rental mobil tapi ternyata gak ada yang sama persis mobil teman saya,” laki-laki tersebut kembali bercerita dan seakan mengacuhkan ekspresi wajah saya yang sudah kebelet buang air kencing.
“Yah, akhirnya saya kesana bawa motor. Sampai disana saya sempat melihat kepala sekolah tersebut. Saya disuruh menunggu lima belas menit. Kemudian seorang staf sekolah keluar dan menyampaikan mohon maaf kepala sekolah sedang sibuk dan tidak bisa menemui,” mulutnya mulai berbusa-busa bercerita.
“Lalu si staf tadi menyampaikan alasan yang gak masuk akal. Padahal dulu bilang sudah tidak ada masalah dengan kontrak kerja samanya. Eh, pas saya datang waktu itu bilangnya kepala sekolah masih sibuk dan belum sempat merivisi draft kerja sama yang menurutnya masih bermasalah. Saya yakin itu semua karena saya datang bawa motor,” Laki-laki tersebut pun menunjuk motor new shogun SP warna hitam miliknya.
“Orang Indonesia itu masih melihat apa bawaan kita. Makanya kalo mau sukses jadi trainer dan dapat bayaran mahal bawaannya mas harus serba mahal. Ingat mas jujur menjalani profesi, malah bisa hancur dan bikin depresi,” laki-laki tersebut memberikan kesimpulan.
Saya pun akhirnya mendapatkan kesempatan berbicara. Sembari ngempit si Agung yang segera ingin nabung, saya bertanya sederhana, “Pak Dosen, yang berbicara di depan, mobil atau manusia? Lalu mana yang lebih istimewa dan berharga mahal, mobil atau manusia? Mana yang merupakan masterpiece kehidupan sesungguhnya mobil atau manusia?
“Nah mungkin itu yang menjadi permasalahan, sering kali beberapa orang dan mungkin Pak Dosen menjalani kesepakatan atau bahkan kehidupan dengan sesuatu yang palsu dan memaksakan. Saya ndak malu mengakui bahwa ke mana-mana mengendarai motor, karena kemampuan saya baru bisa beli motor. Daripada saya omong besar sesumbar dengan memamerkan apa yang bukan kemampuan dan bawaan saya. Lebih baik apa adanya, karena sejatinya kita adalah masterpiece kehidupan. Lebih berharga dan lebih mahal, satu-satunya dan istimewa daripada mobil atau apapun yang kita bawa,” Saya pun menuju Jupi, mencium motor saya yang berada hanya lima langkah di depan.
Mendapat rezeki dan dibayar mahal dari profesi yang kita jalani adalah bonus. Kenikmatan menyalurkan hobi melalui profesi itulah bawaan yang ndak akan pernah hangus. Maaf ya Pak Dosen kita beda aliran…. *Huwehe

(Sumber: Buku “Guyu Hidup Tenang Mati Senang” Karya Cak Aep GuyuMaster)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar