Senin, 22 Desember 2014

Kisah Rahasia Naik Haji dengan Jualan Bakso

Kisah Rahasia Naik Haji dengan Jualan Bakso
Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah sambil memerhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik-rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor terdengar suara tek… tek… tek… Suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat, kuhentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak-anak, siapa yang mau bakso?
“Mauuuuuuuu…,” secara serempak dan kompak anak-anak asuhku menjawab.
Selesai makan bakso lalu saya membayarnya. Ada satu hal yang menggelitik pikiranku selama ini ketika saya membayarnya, karena si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu saya bertanya atas rasa penasaran saya selama ini. “Mang kalau boleh tahu, kenapa uang-uang itu dipisahkan? Barangkali ada tujuan?
“Iya., Pak. Memang sengaja saya memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak saya, mana yang menjadi hak orang lain, dan mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman seorang muslim”.
“Maksudnya?” saya melanjutkan bertanya.
“Iya, Pak. Kan Islam menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Sengaja saya membagi tiga tempat dengan pembagian uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Uang yang masuk ke lacinya artinya untuk infak, sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah kurban. Dan Alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso saya selalu ikut kurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja. sedangkan uang yang masuk ke kencleng, karena saya ingin menyempurnakan agama yang saya pegang. Islam mewajibkan umatnya yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar maka kami sepakat dengan istri bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini kami harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar dua tahun lagi saya dan istri akan melaksanakan ibadah haji.”
Saya sangat… sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki pikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rezeki.
Saya kembali melanjutkan sedikit pertanyaan. “Tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan biaya?”
“Itulah sebabnya, Pak. Justru kami malu kepada Tuhan kalau bicara soal rezeki karena kami sudah diberi rezeki. Semua orang pasti mampu kok kalau memang niat. Menurut saya, definisi “mampu” adalah sebuah definisi di mana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya, kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu” maka insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangan-Nya, Allah akan memberi kemampuan pada kita.

(Sumber: Buku “Bukan Untuk Dibaca The Most Inspiring Story” karya Deassy M. Destiani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar